Do'a Rebo Wekasan
Saya Akan Share tentang doa rebo wekasan......!
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَصَلَّى اللهُ تَعَالىٰ عَلىٰ
سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىٰ آٰلِهٖ وَصَـحْبِهٖ وَسَلَّـمْ اَللّٰهُمَّ
يَاشَدِيْدَ الْقُوٰى وَيَاشَدِيْدَ الْمِحَالِ يَاعَزِيْزُ يَامَنْ
ذَلَّتْ لِعِزَّتِكَ جَمِيْعَ خَلْقِكَ اِكْفِنٖيْ مِنْ شَرِّ جَمِيْعِ
خَلْقِكَ يَامُحْسِنُ يَامُجَمِّلُ يَامُتَفَضِّلُ يَامُنْعِمُ يَامُكْرِمُ
يَامَنْ لَآإِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللّٰهُمَّ بِسِرِّ الْحَسَنِ وَأَخِيْهِ وَجَدِّهٖ وَأَبِيْهِ وَأُمِّهٖ
اِكْفِنٖيْ شَرَّ هٰذَا الْيَوْمِ وَمَا يُنْزِلُ فِيْهِ يَاكَافٖى
فَسَيَكْفِيْكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَحَسْبُنَا
اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ نِعْمَ الْمَوْلىٰ وَنِعْمَ النَّصِيْرُ
وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَصَلَّى
اللهُ تَعَالىٰ عَلىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىٰ آٰلِهٖ وَصَحْبِهٖ
وَسَلَّـمْ
Pada malam Rebo Wekasan setelah shalat Maghrib Di Lanjutkan Denga Amalan :
- shalat sunnat Maghrib dan shalat sunnat Awwabin
- membaca surat Yaasiin 1x, pada surat Yaasiin ayat 58
- kemudian membaca do’a Rebo Wekasan.
Penjelasan Mengenai Rebo Wekasan
Bulan Shafar adalah bulan kedua dalam penanggalan hijriyah Islam.
Sebagaimana bulan lainnya, ia merupakan bulan dari bulan-bulan Allah
yang tidak memiliki kehendak dan berjalan sesuai dengan apa yang Allah
ciptakan untuknya.
Masyarakat jahiliyah kuno, termasuk bangsa Arab, sering mengatakan bahwa bulan Shafar adalah bulan sial. Tasa'um (anggapan sial) ini telah terkenal pada umat jahiliah dan sisa-sisanya masih ada di kalangkan muslimin hingga saat ini.
Abu Hurairah berkata, bersabda Rasulullah,
"Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula ramalan sial, tidak pula burung hantu dan juga tidak ada kesialan pada bulan Shafar. Menghindarlah dari penyakit kusta sebagaimana engkau menghindari singa." (H.R.Imam al-Bukhari dan Muslim).
Ungkapan hadits laa ‘adwaa’
atau tidak ada penularan penyakit itu, bermaksud meluruskan keyakinan
golongan jahiliyah, karena pada masa itu mereka berkeyakinan bahwa
penyakit itu dapat menular dengan sendirinya, tanpa bersandar pada
ketentuan dari takdir Allah.
Sakit atau sehat, musibah atau selamat, semua kembali kepada kehendak Allah. Penularan hanyalah sebuah sarana berjalannya takdir Allah. Namun, walaupun keseluruhannya kembali kepada Allah, bukan semata-mata sebab penularan, manusia tetap diwajibkan untuk ikhtiar dan berusaha agar terhindar dari segala musibah. Dalam kesempatan yang lain Rasulullah bersabda: “Janganlah onta yang sakit didatangkan pada onta yang sehat”.
Sakit atau sehat, musibah atau selamat, semua kembali kepada kehendak Allah. Penularan hanyalah sebuah sarana berjalannya takdir Allah. Namun, walaupun keseluruhannya kembali kepada Allah, bukan semata-mata sebab penularan, manusia tetap diwajibkan untuk ikhtiar dan berusaha agar terhindar dari segala musibah. Dalam kesempatan yang lain Rasulullah bersabda: “Janganlah onta yang sakit didatangkan pada onta yang sehat”.
Maksud hadits laa thiyaarota atau tidak diperbolehkan
meramalkan adanya hal-hal buruk adalah bahwa sandaran tawakkal manusia
itu hanya kepada Allah, bukan terhadap makhluk atau ramalan. Karena
hanyalah Allah yang menentukan baik dan buruk, selamat atau sial, kaya
atau miskin. Dus, zaman atau masa tidak ada sangkut pautnya dengan
pengaruh dan takdir Allah. Ia sama seperti waktu- waktu yang lain, ada
takdir buruk dan takdir baik.
Empat hal sebagaimana dinyatakan
dalam hadits di atas itulah yang ditiadakan oleh Rasulullah dan ini
menunjukkan akan wajibnya bertawakal kepada Allah, memiliki tekad yang
benar, agar orang yang kecewa tidak melemah di hadapkan pada
perkara-perkara tersebut.
Bila seorang muslim pikirannya disibukkan dengan perkara-perkara tersebut, maka tidak terlepas dari dua keadaan. Pertama: menuruti perasaan sialnya itu dengan mendahulukan atau meresponsnya, maka ketika itu dia telah menggantungkan perbuatannya dengan sesuatu yang tidak ada hakikatnya. Kedua: tidak menuruti perasaan sial itu dengan melanjutkan aktivitasnya dan tidak memedulikan, tetapi dalam hatinya membayang perasaan gundah atau waswas. Meskipun ini lebih ringan dari yang pertama, tetapi seharusnya tidak menuruti perasaan itu sama sekali dan hendaknya bersandar hanya kepada Allah.
Penolakan akan ke empat hal di atas bukanlah menolak keberadaannya, karena kenyataanya hal itu memang ada. Sebenarnya yang ditolak adalah pengaruhnya. Allah-lah yang memberi pengaruh. Selama sebabnya adalah sesuatu yang dimaklumi, maka sebab itu adalah benar. Tapi bila sebabnya adalah sesuatu yang hanya ilusi, maka sebab tersebut salah.
Bila seorang muslim pikirannya disibukkan dengan perkara-perkara tersebut, maka tidak terlepas dari dua keadaan. Pertama: menuruti perasaan sialnya itu dengan mendahulukan atau meresponsnya, maka ketika itu dia telah menggantungkan perbuatannya dengan sesuatu yang tidak ada hakikatnya. Kedua: tidak menuruti perasaan sial itu dengan melanjutkan aktivitasnya dan tidak memedulikan, tetapi dalam hatinya membayang perasaan gundah atau waswas. Meskipun ini lebih ringan dari yang pertama, tetapi seharusnya tidak menuruti perasaan itu sama sekali dan hendaknya bersandar hanya kepada Allah.
Penolakan akan ke empat hal di atas bukanlah menolak keberadaannya, karena kenyataanya hal itu memang ada. Sebenarnya yang ditolak adalah pengaruhnya. Allah-lah yang memberi pengaruh. Selama sebabnya adalah sesuatu yang dimaklumi, maka sebab itu adalah benar. Tapi bila sebabnya adalah sesuatu yang hanya ilusi, maka sebab tersebut salah.
" bolehkah berkeyakinan terhadap hari naas, misalnya hari ketiga atau hari keempat pada tiap-tiap bulan, sebagaimana tercantum dalam kitab Lathaiful Akbar” memilih pendapat yang tidak mempercayai hari naas dengan mengutip pandangan Syekh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Al-Fatawa al-Haditsiyah berikut ini :
“Barangsiapa bertanya tentang hari sial dan sebagainya untuk diikuti bukan untuk ditinggalkan dan memilih apa yang harus dikerjakan serta mengetahui keburukannya, semua itu merupakan perilaku orang Yahudi dan bukan petunjuk orang Islam yang bertawakal kepada Sang Maha Penciptanya, tidak berdasarkan hitung-hitungan dan terhadap Tuhannya selalu bertawakal. Dan apa yang dikutip tentang hari-hari nestapa dari sahabat Ali kw. Adalah batil dan dusta serta tidak ada dasarnya sama sekali, maka berhati-hatilah dari semua itu” (Ahkamul Fuqaha’, 2010: 54).
Belum ada tanggapan untuk "Do'a Rebo Wekasan"
Post a Comment
# Saya akan coba merespon komentar baru secepatnya.
# Harap berkomentar dengan bahasa baku tanpa singkatan.
# Komentar promosi, spam, dan komentar satu kalimat yang tidak bermutu akan saya hapus langsung.
# Jangan menggunakan nama pengomentar dengan nama yang berbau porno, judi, dan yang negatif lainnya.
# Setiap komentar akan dimoderasi secara manual sebelum muncul.